“Aku banyak belajar dalam diam. Meneladani
tiap insan datang dan pergi. Sejujurnya, semua membawa makna. Yang setia akan
senantiasa dalam doanya. Yang misteri akan hilang entah kemana”
Sore
itu, aku membuka layar notebook untuk
sekedar melihat apa yang terjadi di dunia maya. Memang kebiasaanku saat liburan
hanya tiduran di kasur, menyiapkan kopi favoritku, headset terpasang dan
menyiapkan jari-jariku untuk mengetik keyboard
notebook. Liburan bagi anak koas itu sungguh berharga karena hampir 1,5
tahun dihabiskan di RS demi mendapatkan gelar dokter.
‘Anda
mendapatkan 1 pemberitahuan’
Aku
iseng membuka pemberitahuan di FB lalu aku lihat sosok laki-laki yang bisa
dikatakan tampan. Dia menyukai salah satu foto di galeri FB ku. Keluarlah
penasaranku tentang sosok itu. Segera aku membuka layar FB laki-laki yang
membuatku penasaran. Ternyata dia adalah seorang dokter dan juga mantan aktivis
yang disegani di kampusnya. Selain itu, dia tinggi, manis dengan kacamatanya
dan juga selalu tersenyum lebar sambil menunjukkan giginya yang putih dan
bersih. Rasa penasaranku akhirnya di ambang batas, jari-jariku geli hingga ingin
menuliskan pesan di FBnya.
“Assalamu’alaykum,
maaf siapa ya? Kok kayak pernah lihat?”
Astaghfirullah..Apa
yang telah aku lakukan? Beraninya aku iseng memulai percakapan dengan laki-laki
yang belum pernah aku temui sebelumnya.
10
menit kemudian, pesanku dibalas olehnya
“Wa’alaykumsalam,
Wr, Wb. Hallo mbak. Perkenalkan saya Gagah. Mbak masih aktif organisasi?”
Aku
kaget kenapa dia tahu tentangku. Memang saat kuliah aku memang terkenal sebagai
aktifis di kampusku. Tidak tanggung-tanggung pernah 7 organisasi pernah aku
miliki. Itu suatu hal yang gila bagi seorang mahasiswi. Alhamdulillah, meski
terlalu banyak aktifitas organisasi, IPK lebih dari 3 bisa tercapai meski tidak
cumlaude.
“Alhamdulillah,
masih aktif organisasi, tapi gak sesering seperti dulu waktu masih kuliah. Panggil
saya adik aja, mas. Mas udah selesai magang di RS ya?” Kubalas chatnya sambil
menyeruput kopiku yang mulai dingin. Ya Allah, jangan sampai aku terlalu
berharap dengan sosok laki-laki tampan yang baru aku kenal ini.
“Ya
dik, saya sudah yudisium untuk gelar dokter. Ini rencana saya akan meneruskan
kuliah S2 di Jogja, Adik, kita teruskan chatnya lewat line ya. Ini ID line saya.
Saya tunggu ya”
Melihat
balasan chatnya yang hanya berselang 1 menit itu, aku hampir saja menumpahkan
kopiku karena begitu kagetnya. Aku tidak habis pikir jarang ada laki-laki yang
memberikan ID line yang privasi. Sebenarnya aku bukan perempuan yang sembarang
terbuka dengan orang baru. Tapi aku melihat sosoknya yang memang sesuai
kriteriaku 1 profesi denganku, maka aku memutuskan untuk melanjutkan obrolan
itu.
Saat
aku membuka layar handphone, segera aku membuka line, langsung ‘tambah teman’
dan memasukkan ID line miliknya. Setelah ketemu, ada wujud laki-laki yang
berkacamata sambil memakai jas putih di foto profilnya. Subhanallah,
gantengnya, aku masih deg-degan waktu mau memulai obrolan kami di line.
“Assalamu’alaykum,
mas”
Tidak
butuh waktu lama, dia membalas chatku. “Wa’alaykumsalam, Wr, Wb..Hallo dik,
kita ketemu lagi ya, hehe. Lagi sibuk apa nih?”
Waduh,
lagi-lagi dia cepat sekali membalas lineku. “Hehe, gak sibuk apa-apa mas. Oya, boleh
tau berapa tinggi mas? Kok aku lihat kayaknya tinggi dan gagah”
“Hayoo..tebak
berapa? Kalau benar, nanti kita ta’aruf ya”
Ta’aruf?
Apakah dia sungguh-sungguh mengatakan begitu padaku atau hanya sekedar candaan
belaka. Selama ini belum ada laki-laki yang berani mengajakku untuk ta’aruf.
“182
cm?” Tanyaku “Iya betul sekali. Oya, dik. Sebenarnya sudah lama aku pengen
ngajak ta’aruf adik. Adik kenal Icha khan? Nanti dia yang akan menyambungkan
kita ya. Selama proses ta’aruf nanti adik silahkan bertanya apapun lewatnya. Mungkin
percakapan kita sudahi sampai disini ya. Semoga Allah membimbing kita ya,dik.
Wassalamu’alaykum, Wr, Wb.”
Masya
Allah, ternyata dia benar-benar mengajakku untuk ta’aruf. Percakapan yang
ditutup tengah malam ini, langsung kuberitahukan pada ibuku yang sedari tadi belum
tidur karena menemaniku terjaga. Mengetahui laki-laki yang mengajakku ta’aruf,
ibuku sangat bahagia karena memang beliau menanti-nanti laki-laki yang bisa
menjadi calon menantunya.
Selama
1 minggu, melalui Mbak Icha sebagai perantara kami, proses ta’aruf berjalan
cepat, dari tukar menukar biodata dan pertanyaan, hingga pada akhirnya Mas Gagah
memutuskan untuk bertamu rumahku. Tepat hari minggu pagi, Mas Gagah akan datang
bertamu ke rumahku. Segala hal dipersiapkan untuk menyambutnya. Biasanya hari
minggu aku hanya malas-malasan di tiduran di kamar, setelah subuh aku sudah
bersih-bersih rumah. Ibuku sudah membuatkan ikan goreng karena di desa tempatku
tinggal memang terkenal dengan desa wisata air yang banyak dengan aneka jenis
ikan. Tiba-tiba aku mendapatkan chat dari Mbak Icha. Hal yang tidak terduga
terjadi, Mbak Icha mengatakan bahwa dia ingin mundur sebagai perantara kami.
Bagai
terkena kilatan dari langit, aku tak menyangka. Apakah ini firasat atau
pertanda yang tidak baik? Namun aku tidak terlalu membingungkan hal itu. Aku
tetap yakin dia akan datang. Siangnya, Mas Gagah pun datang meski terlambat dari yang dia rencanakan.
Turun dari mobil, terlihat sosok yang membuatku terpesona seketika padanya.
Sosok berkacamata, memakai pakaian koko rapi, bawahan celana dan sepatu yang
menurutku modis bagi seorang pria. Orang tuaku mempersilahkan dia masuk dan
duduk di ruang tamu.
Aku
dan ibuku menyiapkan hidangan yang akan disajikan untuk tamu yang sudah ku
tunggu-tunggu kehadirannya ini. Saat akan menghidangkan makanan, tiba-tiba aku
tergelincir hingga menumpahkan makanan biskuit di depannya. Aku sangat malu
dengan yang apa aku lakukan di depannya. Aku segera mengambil biskuit itu yang
sempat membuat berantakan lantai yang sudah bersih itu.
Sudah
10 menit orang tuaku bercakap-cakap dengannya. Sebelumnya aku hanya duduk
menanti di ruang keluarga. Setelah itu ibu memanggilku untuk menemuinya dan
kami ditinggal berdua.
“Hey
dik..Apa kabarnya?”
“Alhamdulillah
baik mas. Bagaimana kabar mas?” Sambil aku tundukkan pandanganku darinya. Sudah
lama aku tak bertemu laki-laki secara langsung. Di masa laluku, memang aku
sering bertemu dan bahkan mudah berkumpul dengan laki-laki. Allah memang sayang
bagi hamba-hambaNya yang dicintaiNya. Kini aku sudah jarang berinteraksi
langsung dengan laki-laki bila tidak ada kepentingan. Hal ini untuk menjaga
diriku.
“Alhamdulillah
baik juga dik. Gimana koasnya? Oya, mas boleh tau jadwal koasmu untuk 1 minggu
ke depan?”
Apa
lagi yang ingin dia sampaikan padaku? Apa dia ingin menemuiku dengan orang
tuanya?
“Insya
Allah, jadwal adik longgar untuk akhir pekan mas.”
“Ya
dik, syukurlah. Insya Allah mas akan datang lagi dengan orang tua di akhir
pekan ya”
Sungguh
aku tak menyangka, secepat inikah proses kami. Memang proses ta’aruf tidak
boleh terlalu lama dan menunda-nunda untuk segera menuju jenjang khitbah hingga
pernikahan.
“Dik…Hei
dik….” Dia mengagetkanku dari lamunanku. Ah, aku memang wanita yang baperan,
dikit-dikit dibawa perasaan dan gampang ngelamun.
“Oya
dik, maaf mas gak bisa lama-lama, karena ini masih harus ke Jogja, untuk
beres-beres pindahan. Besok senin sudah mulai kuliah. Mas boleh pamitan sama
bapak ibu?”
“Iya
mas. Saya akan sampaikan bapak dan ibu”
Setelah
dia berpamitan padaku dan orangtuaku, dia melaju pergi dengan tanda tanya besar
dari dalam diriku. Bagaiamana kelanjutan kami? Sudah tidak ada perantara yang
menyambungkan komunikasi kami lagi. Malamnya, aku sengaja untuk tidur lebih
awal agar bisa bangun di 1/3 malam bermunajat kepada Allah dan memohon
petunjukNya.
Mengetahui
rencana dia untuk datang ke rumahku bersama keluarganya, ibuku langsung
memberikan kabar baik ini ke keluarga besar. Karena di keluargaku, acara ini
harus disambut dengan baik oleh keluarga besar dan dipersiapkan lebih matang
lagi.
Hari
berganti hari, masih belum ada kabar darinya. Setiap waktuku aku terus
memikirkannya. Apakah sudah berakhir sampai disini?
“Zi,
gimana kemarin pertemuannya sama mas? Teman-temanmu juga pengen tahu ini”
“Insya
Allah, mohon doanya saja ya” aku membalas pertanyaan teman-temanku dengan wajah
datar.
“Ciyee
akhirnya setelah menjomblo lama, ada yang mau meminang Zizi yang galauan”
celoteh teman-temanku disertai tertawaan mereka. Aku hanya bisa bungkam begitu
saja. Hanya bisa pasrah dengan ketentuan Allah. Mas kamu dimana sebenarnya?
Hingga
3 hari setelah pertemuan kami, dia baru bisa menyapaku di line. Betapa
bahagianya aku akhirnya dia kembali setelah penantianku berhari-hari.
Dia
mengetuk layar handphoneku. Tidak hanya pembicaraan melalui chat, dia sudah berani
mengajakku untuk berkomunikasi melalui telepon. Batasan ta’aruf yang dari awal
kami bangun, akhirnya jebol karena kami berkomunikasi intens setiap harinya.
“Pagi
adik..Udah shalat subuh belum? Nanti jangan lupa sarapan ya sebelum berangkat
ke RS”
“Pagi
juga mas. Sudah donk, on time juga. Mas juga ya. Nanti ada kuliah mas?”
“Ada
dik…Okey, semangat ya koasnya! J”
Percakapan
terus berlanjut. Di balik kesibukan kami, pasti ada waktu luang untuk saling
menyapa melalui suara. Hari-hari rasanya membuatku bahagia. Tetapi kebahagiaan
ini tidak berjalan lama hingga dia memberi kabar yang membuatku terasa
terjatuh.
“Adik,
maafkan mas ya. Pamanku yang biasa mengantarkan orang tua mas, sekarang baru
operasi tumor. Maaf belum bisa datang ke rumah besok minggu. Tunggu kabar mas
lagi ya”
Aku
tidak dapat menduga, apakah dia hanya alasan begitu saja padaku? Apakah dia
benar-benar lupa tentang syariat ta’aruf? Dia malah mengajakku di jalan yang
bisa dikatakan seperti orang pacaran. Mungkin ini ujian sementara kami, dan aku
hanya bisa menerimanya.
Hingga
akhir pekan, waktu yang seharusnya dia datang bersama keluarganya, dia tidak
datang. Layar kaca handphoneku juga sepi tanpa ada kehadirannya. Tidak ada
sapaan lagi dari dirinya. Dia berubah 180 derajat. Aku hanya bisa terdiam di pojok
kamarku.
Karena
sejak pagi hingga siang aku tidak keluar kamar, orang tuaku bertanya-tanya.
Mereka menghampiriku menanyakan apa yang terjadi pada diriku. Aku tak kuat
hingga terbaring begitu saja di kaki ibuku dan terurailah air mataku. Ayahku
tidak tega melihat anak perempuan satu-satunya menangis, lalu beliau memutuskan
untuk menelepon Mas Gagah.
10
menit ayahku bercakap-cakap melalui telepon dengannya. Setelah telepon ditutup,
ayah langsung mengusap kerudungku dan mengutarakan bahwa sang ikhwan mundur
dari ta’aruf dan memberhentikan proses ta’aruf kami. Bagai hujan yang turun
dengan derasnya, isakan air mata berubah menjadi derasnya air mata yang
membanjiri kerudungku. Aku tak menyangka, orang yang aku yakini akan menjadi
akhir penantianku ini akhirnya pergi begitu saja dengan membawa guncangan
hatiku yang patah. Kedua orang tuaku sangat prihatin melihat duka yang
dirasakan anaknya lalu mereka memeluk anandanya tersayang.
Aku
tak tahu lagi mau dibawa kemana lagi mukaku ini? Khususnya di depan teman-temanku
yang suka menertawaiku. Bagaimana jika nanti keluarga besar menanyakan tentang
kegagalan ta’arufku ini? Aku jatuh sejatuh-jatuhnya. Hal ini berpengaruh dengan
keseharian kegiatan koasku di RS. Aku lebih banyak diam di depan teman-temanku,
sering membuat kesalahan, rasanya selalu ada batu besar yang menimpa punggungku
tiap waktu.
Allah
begitu sayang pada hambaNya yang selalu taat padaNya. Meskipun masih berat
beban ini, aku curahkan segalanya pada Maha Pencipta di 1/3 malam. Aku tak kuat
membendung derasnya air mata diantara dingin yang menyayat badanku. Begitu
beratnya punggung ini, sampai tak sadar aku sudah terjatuh di atas sajadahku. Kenapa
dia hadir membawa kekecewaan keluargaku, Ya Rabb? Tak apa aku pernah dibuat
sakit hati, tapi jangan untuk kedua orangtuku, Ya Rabb, ampuni aku Ya Allah,
jika pernah mengharapkan terlalu berlebihan pada ciptaanMu.
Sudah
1 bulan setelah kepergiannya, dia sudah tidak menyapaku lagi, perlahan-lahan
dia mulai hilang, dia juga tidak terlihat di sosmed dan aku mulai bisa bangkit.
Di tengah-tengah jadwal koasku yang penuh, aku sempatkan untuk melangkahkan
kakiku ke masjid hanya sekedar ingin kembali mendekati pemilik hati ini. Membuat
agenda amalan yaumiyah. Mulai rutin tilawah dan murratal Al Qur’an. Aku
menyempatkan diri bangun lebih awal di pagi hari untuk qiyamul lail.
Allah Maha Pemurah.
Alhamdulillah, wujud sosoknya kini sudah pergi dari ingatanku dan aku sudah
bisa mengikhlaskannya. Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik bagi
hambaNya yang selalu berserah diri padaNya.
Cerita yang bagus... Semoga diertemukan pria yang tepat n diwaktu yang tepat.. Aamiin...
BalasHapus